AWAK Mendeklarasikan BOIKOT Gubernur JABAR Atas Video Yang Beredar Anti Pers
www.catatanalfinkuy.com || karawang senin 7 juli 2025Demokrasi Indonesia sedang sekarat. Pilar keempat demokrasi kebebasan pers terus dicekik perlahan oleh kekuasaan yang kian kehilangan nalar. Tanda-tanda kematian demokrasi tak lagi samar. Di tengah kondisi yang kian mencekam, Forum Jurnalis Karawang (FJK) dan Aliansi Wartawan Karawang (AWAK) menggelar sebuah forum perlawanan bertajuk “Diskusi Santai & Sehat: Pilar Ke-4 Demokrasi Tercampakkan, Arogansi Kekuasaan”, Senin 7 juli 2025 di Lapak Ngopi, Karawang.
Namun ini bukan sekadar diskusi. Ini adalah sirine perlawanan, sebuah deklarasi terbuka dari ruang redaksi yang sudah terlalu lama dibungkam.
Forum ini menjadi respons keras atas manuver kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menyerukan pemutusan hubungan dengan media massa dan mendorong penggunaan media sosial pribadi sebagai kanal informasi utama. Sebuah langkah yang dipandang sebagai penghinaan terhadap profesi wartawan dan upaya sistematis membonsai peran pers dalam demokrasi.
Spanduk yang terpasang dalam forum tersebut bicara lantang, lebih keras dari teriakan: “Media bukan buzzer, media adalah penjaga kebenaran.” Ini bukan slogan manis, tapi jeritan nurani dari insan pers yang muak dibungkam.
Sejumlah tokoh jurnalis, aktivis, dan pegiat demokrasi turut hadir, menyuarakan tiga poin krusial:
1. Meningkatnya kriminalisasi terhadap jurnalis
2. Kooptasi media oleh kekuatan oligarki
3. Menyempitnya ruang berekspresi dan kritik publik
Salah satu suara paling lantang datang dari MR. KiM, narasumber utama dalam forum tersebut: “Pers bukan musuh pemerintah. Justru pers adalah benteng terakhir demokrasi. Karawang boikot pemberitaan KDM!”. Pernyataan ini bukan sekadar ajakan, melainkan tindakan nyata memutus dukungan terhadap penguasa yang menolak dikritik.
IWO Karawang: Media Sosial Tak Bisa Gantikan Wartawan
Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia DPD Karawang, Syuhada Wisastra, juga angkat suara dengan nada tajam dan tegas. Ia menyebut bahwa pernyataan Gubernur Dedi Mulyadi bukan sekadar kesalahan komunikasi, melainkan pengingkaran terhadap prinsip demokrasi itu sendiri.
“Jika media dianggap tak perlu, maka siapa yang akan mengawal jalannya pemerintahan? Siapa yang akan menjadi jembatan antara suara rakyat dan pemegang kuasa?” tegasnya.
Syuhada menegaskan bahwa media bukan sekadar penyampai informasi, melainkan pilar keempat demokrasi yang berfungsi mengontrol dan menyeimbangkan kekuasaan.
Ia juga menepis keras narasi bahwa media sosial bisa menggantikan peran pers: “Media sosial tak punya mekanisme verifikasi, tak punya kode etik, dan bebas dari tanggung jawab. Wartawan punya semua itu. Kami bekerja dengan akurasi, bukan asumsi.”
IWO Karawang menyatakan sikap solidaritasnya terhadap seluruh insan pers di Karawang yang telah menyuarakan kegelisahan secara tertib dan bermartabat. Ini bukan sekadar gerakan lokal, melainkan perjuangan nasional menyelamatkan demokrasi dari jurang otoritarianisme.
“Kami tak membenci Dedi Mulyadi. Tapi sebagai Gubernur, ia seharusnya membangun sinergi dengan media, bukan memusuhi dan menciptakan stigma.”
Pesan Penutup: Hormati Pers atau Bangun Rezim Ilusi
Di akhir forum, seruan pun menggema: “Kami tidak akan tinggal diam ketika demokrasi dilumpuhkan lewat pembungkaman pers. Ini adalah perlawanan!”
Syuhada menutup forum dengan pesan bernada ultimatum: “Kami bukan musuh kekuasaan. Kami mitra kritis. Hormati pers, maka demokrasi akan hidup. Abaikan pers, maka lahirlah rezim yang tertutup dan penuh ilusi.”
Karawang telah memberi sinyal jelas: Jika pers dibungkam, rakyat akan bersuara lebih keras. Karena ketika suara jurnalis dibungkam, yang padam bukan hanya berita, tetapi cahaya akal sehat bangsa.